بسم الله
الرحمن الرحيم
Pembahasan
kita kali ini adalah mengenal hukum syar’i, yaitu wajib, mandub, makruh, haram,
dan mubah.
Secara
bahasa, hukum artinya al-man’u (batas) yaitu yang menghalangi
seseorang keluar batas. Secara istilah, hukum adalah ketetapan syar’i yang
berkaitan dengan perbuatan mukallafin yang terdiri dari iqtida’, takhyir
dan wadh’i.
Sebelum kita
beranjak ke pembahasan mengenai pembagian hukum, kita akan menyebutkan syarat
sebuah hukum bisa terlaksana. Pertama, syarat yang berkaitan dengan orang yang
dibebani hukum ada dua: berakal dan memahami hukum/baligh. Memahami hukum
disini maksudnya seseorang itu mampu mencerna teks hukum. Nah, karena hal ini
tidak bisa diberi batasan yang jelas, maka syarat ini dikaitkan dengan baligh.
Apa tanda baligh itu?
Tanda-tanda
baligh:
1. Mimpi basah.
2. Tumbuhnya bulu kemaluan.
3. Haid (khusus wanita)
4. Umur mencapai 15 tahun, hal ini jika
tanda-tanda di atas tidak muncul.
Seseorang
yang telah memenuhi dua syarat tadi, dia telah dibebani hukum. Apa yang wajib
di dalam syari’at, wajib dia laksanakan. Dan begitu seterusnya dengan hukum
yang lain.
Kedua,
syarat yang berkaitan dengan hukum yang dibebankan, yaitu ada tiga: Ma’lum
(diketahui), ma’dum (belum terlaksana), dan mumkin (mungkin dilaksanakan).
1. Ma’lum maksudnya, sebuah hukum tak
mungkin dilaksanakan kecuali telah diketahui. Bagaimana kita menjalankan hukum
yang majhul alias tidak diketahui? Ini sesuatu yang aneh dan tak masuk akal. Namun
ketika sudah diketahui maka wajib dilaksanakan, seperti shalat misalnya. Dan tidak
ada alasan bagi seorang muslim pun untuk tidak mengenal hukum. Dia wajib
belajar agar tahu hukum-hukum di dalam syari’at.
2. Ma’dum maksudnya, hukum itu belum
terlaksana. Misalnya sudah masuk waktu zhuhur, maka dia wajib shalat zhuhur. Setelah
selesai shalat, dia tidak wajib lagi untuk shalat zhuhur. Bagaimana anda
menyuruh membuka pintu yang telah terbuka?
3. Mumkin maksudnya, hukum tersebut mungkin
dan tidak mustahil. Misalnya memakai jilbab bagi muslimah, apakah ini mustahil?
Jadi, selagi hukum itu mungkin dilaksanakan, maka harus dilaksanakan.
Sekarang kita masuk pada pembahasan hukum. Hukum terbagi dua, yaitu
taklifi dan wadh’i.
Hukum taklifi adalah tuntutan syari’at yang terdiri dari
iqtida’ dan takhyir. Iqtida’ ialah hukum yang diperintahkan untuk dikerjakan
(wajib dan mandub) atau diperintahkan untuk ditinggalkan (haram dan makruh). Sementara
takhyir ialah hukum yang bersifat boleh (mubah).
Wajib adalah hukum yang dituntut mengerjakannya yang bersifat harus
(ilzam). Hasilnya, jika dia kerjakan mendapat ganjaran (pahala). Dan jika dia
tinggalkan dia berhak mendapat hukuman (‘iqab).
Mandub adalah hukum yang dituntut mengerjakannya yang bersifat
anjuran (gairu ilzam). Hasilnya, jika dikerjakan berpahala, jika ditinggalkan
tidak mendapat hukuman. Namun ada catatan: pertama, tidak boleh bagi umat Islam
meninggalkan satu amalan mandub/sunnah, karena itu berarti penghapusan syari’at,
yang tentu haram. Kedua, mandub itu berfungsi sebagai muqaddimah bagi yang
wajib, dan sebagai penyempurna atau pelengkap.
Haram adalah hukum yang dituntut meninggalkannya yang bersifat
harus (ilzam). Hasilnya, jika dikerjakan dia berhak mendapat hukuman, dan jika
dia tinggalkan berpahala. Namun adalah beberapa keadaan orang yang meninggalkan
haram, In sya Allah akan dibahas pada kesempatan yang lain.
Makruh adalah hukum yang dituntut meninggalkannya yang bersifat
tidak harus (gairu ilzam). Hasilnya, jika dikerjakan tidak apa-apa, jika
ditinggalkan berpahala. Namun ada pertanyaan penting berkaitan ini. Makruh artinya
adalah dibenci (mabghud). Siapa yang kau buat dia benci atau marah?
Mubah adalah hukum yang bersifat pilihan. Jika dikerjakan atau
ditinggalkan tidak mengapa. Namun sebagai catatan: bahwa mubah itu akan berubah
hukumnya sesuai dengan maksud yang diinginkan. Contohnya adalah berjalan. Berjalan
hukumnya boleh-boleh saja, tapi ketika dimaksudnya kepada hal yang haram maka
dia juga ikut haram.
Hukum yang kedua adalah wadh’i yaitu apa saja yang
diletakkan oleh syari’at sebagai tanda untuk sebuah hukum, terdiri dari syarat,
sabab (sebab) dan mani’ (penghalang).
Suatu amalan misalnya, akan disebut sah jika terpenuhi sebab dan
syaratnya serta tidak ada penghalangnya. Contohnya shalat zhuhur. Sebabnya adalah
tergelincirnya matahari. Jadi sebelum itu tidak sah mengerjakan shalat zhuhur. Syaratnya
ialah thaharah (berwudhu’), jadi orang berhadats tak sah mengerjakan shalat
sampai dia berwudhu’. Penghalangnya seperti najis, haid atau nifas. Seseorang yang
haid, meskipun telah terpenuhi sebab dan syaratnya, tidak sah mengerjakan
shalat. Dan tidak diharuskan mengqadha’ shalatnya.
Demikianlah pembahasan singkat tentang pembagian hukum. Semoga Allah
memberi kita kepahaman dalam menjalankan syari’atnya. Saya mengajak
sahabat-sahabat sekalian untuk mempelajari ushul fiqh mengingat faidahnya yang
sangat besar.
Wallahu a’lam bishshawab.
Semoga shalawat beserta salam selalu tercurahkan kepada nabi
Muhammad, keluarga dan seluruh shahabat beliau.