Jumat, 09 Januari 2015

HUKUM SYAR'I


بسم الله الرحمن الرحيم
Pembahasan kita kali ini adalah mengenal hukum syar’i, yaitu wajib, mandub, makruh, haram, dan mubah.
Secara bahasa, hukum artinya al-man’u (batas) yaitu yang menghalangi seseorang keluar batas. Secara istilah, hukum adalah ketetapan syar’i yang berkaitan dengan perbuatan mukallafin yang terdiri dari iqtida’, takhyir dan wadh’i.
Sebelum kita beranjak ke pembahasan mengenai pembagian hukum, kita akan menyebutkan syarat sebuah hukum bisa terlaksana. Pertama, syarat yang berkaitan dengan orang yang dibebani hukum ada dua: berakal dan memahami hukum/baligh. Memahami hukum disini maksudnya seseorang itu mampu mencerna teks hukum. Nah, karena hal ini tidak bisa diberi batasan yang jelas, maka syarat ini dikaitkan dengan baligh. Apa tanda baligh itu?
Tanda-tanda baligh:
1.    Mimpi basah.
2.    Tumbuhnya bulu kemaluan.
3.    Haid (khusus wanita)
4.    Umur mencapai 15 tahun, hal ini jika tanda-tanda di atas tidak muncul.
Seseorang yang telah memenuhi dua syarat tadi, dia telah dibebani hukum. Apa yang wajib di dalam syari’at, wajib dia laksanakan. Dan begitu seterusnya dengan hukum yang lain.
Kedua, syarat yang berkaitan dengan hukum yang dibebankan, yaitu ada tiga: Ma’lum (diketahui), ma’dum (belum terlaksana), dan mumkin (mungkin dilaksanakan).
1.    Ma’lum maksudnya, sebuah hukum tak mungkin dilaksanakan kecuali telah diketahui. Bagaimana kita menjalankan hukum yang majhul alias tidak diketahui? Ini sesuatu yang aneh dan tak masuk akal. Namun ketika sudah diketahui maka wajib dilaksanakan, seperti shalat misalnya. Dan tidak ada alasan bagi seorang muslim pun untuk tidak mengenal hukum. Dia wajib belajar agar tahu hukum-hukum di dalam syari’at.
2.    Ma’dum maksudnya, hukum itu belum terlaksana. Misalnya sudah masuk waktu zhuhur, maka dia wajib shalat zhuhur. Setelah selesai shalat, dia tidak wajib lagi untuk shalat zhuhur. Bagaimana anda menyuruh membuka pintu yang telah terbuka?
3.    Mumkin maksudnya, hukum tersebut mungkin dan tidak mustahil. Misalnya memakai jilbab bagi muslimah, apakah ini mustahil? Jadi, selagi hukum itu mungkin dilaksanakan, maka harus dilaksanakan.

Sekarang kita masuk pada pembahasan hukum. Hukum terbagi dua, yaitu taklifi dan wadh’i.
Hukum taklifi adalah tuntutan syari’at yang terdiri dari iqtida’ dan takhyir. Iqtida’ ialah hukum yang diperintahkan untuk dikerjakan (wajib dan mandub) atau diperintahkan untuk ditinggalkan (haram dan makruh). Sementara takhyir ialah hukum yang bersifat boleh (mubah).
Wajib adalah hukum yang dituntut mengerjakannya yang bersifat harus (ilzam). Hasilnya, jika dia kerjakan mendapat ganjaran (pahala). Dan jika dia tinggalkan dia berhak mendapat hukuman (‘iqab).
Mandub adalah hukum yang dituntut mengerjakannya yang bersifat anjuran (gairu ilzam). Hasilnya, jika dikerjakan berpahala, jika ditinggalkan tidak mendapat hukuman. Namun ada catatan: pertama, tidak boleh bagi umat Islam meninggalkan satu amalan mandub/sunnah, karena itu berarti penghapusan syari’at, yang tentu haram. Kedua, mandub itu berfungsi sebagai muqaddimah bagi yang wajib, dan sebagai penyempurna atau pelengkap.
Haram adalah hukum yang dituntut meninggalkannya yang bersifat harus (ilzam). Hasilnya, jika dikerjakan dia berhak mendapat hukuman, dan jika dia tinggalkan berpahala. Namun adalah beberapa keadaan orang yang meninggalkan haram, In sya Allah akan dibahas pada kesempatan yang lain.
Makruh adalah hukum yang dituntut meninggalkannya yang bersifat tidak harus (gairu ilzam). Hasilnya, jika dikerjakan tidak apa-apa, jika ditinggalkan berpahala. Namun ada pertanyaan penting berkaitan ini. Makruh artinya adalah dibenci (mabghud). Siapa yang kau buat dia benci atau marah?
Mubah adalah hukum yang bersifat pilihan. Jika dikerjakan atau ditinggalkan tidak mengapa. Namun sebagai catatan: bahwa mubah itu akan berubah hukumnya sesuai dengan maksud yang diinginkan. Contohnya adalah berjalan. Berjalan hukumnya boleh-boleh saja, tapi ketika dimaksudnya kepada hal yang haram maka dia juga ikut haram.
Hukum yang kedua adalah wadh’i yaitu apa saja yang diletakkan oleh syari’at sebagai tanda untuk sebuah hukum, terdiri dari syarat, sabab (sebab) dan mani’ (penghalang).
Suatu amalan misalnya, akan disebut sah jika terpenuhi sebab dan syaratnya serta tidak ada penghalangnya. Contohnya shalat zhuhur. Sebabnya adalah tergelincirnya matahari. Jadi sebelum itu tidak sah mengerjakan shalat zhuhur. Syaratnya ialah thaharah (berwudhu’), jadi orang berhadats tak sah mengerjakan shalat sampai dia berwudhu’. Penghalangnya seperti najis, haid atau nifas. Seseorang yang haid, meskipun telah terpenuhi sebab dan syaratnya, tidak sah mengerjakan shalat. Dan tidak diharuskan mengqadha’ shalatnya.
 Demikianlah pembahasan singkat tentang pembagian hukum. Semoga Allah memberi kita kepahaman dalam menjalankan syari’atnya. Saya mengajak sahabat-sahabat sekalian untuk mempelajari ushul fiqh mengingat faidahnya yang sangat besar.
Wallahu a’lam bishshawab.
Semoga shalawat beserta salam selalu tercurahkan kepada nabi Muhammad, keluarga dan seluruh shahabat beliau.

0 comments:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Masthoms16 | Macys Printable Coupons