"Kenapa aku muslim?" tanyaku suatu ketika.
"Hei, kok nanya begituan?" timpal Ditta, sahabatku.
"Gak ada salahnya kan aku bertanya?" sangkalku, sambil memandang hamparan sawah yang menghijau.
"Hei, kok nanya begituan?" timpal Ditta, sahabatku.
"Gak ada salahnya kan aku bertanya?" sangkalku, sambil memandang hamparan sawah yang menghijau.
"Si Badu, tetangga kita, kok beragama Kristen? si Alex, kok bisa
Yahudi? Kan kita sam-sama manusia?" lanjutku, tanpa berharap untuk
mendapat jawaban.
"Mungkin, takdir!" kata Ditta.
Sambil tersenyum, aku menoleh padanya, "Takdir? Aku sudah menemukan jawabannya kalau begitu."
"Apa jawabannya?" Ditta tak sabar.
"Aku menjadi muslim karena Allah memilihku untuk itu! Takdir? Bisa jadi. Tinggal bagaimana aku menjaga anugerah besar ini, hingga aku menemui-Nya nanti!" Aku pun tersenyum puas dan kembali memandang persawahan. Angin sore menerpa wajahku dengan lembut.
"Mungkin, takdir!" kata Ditta.
Sambil tersenyum, aku menoleh padanya, "Takdir? Aku sudah menemukan jawabannya kalau begitu."
"Apa jawabannya?" Ditta tak sabar.
"Aku menjadi muslim karena Allah memilihku untuk itu! Takdir? Bisa jadi. Tinggal bagaimana aku menjaga anugerah besar ini, hingga aku menemui-Nya nanti!" Aku pun tersenyum puas dan kembali memandang persawahan. Angin sore menerpa wajahku dengan lembut.
0 comments:
Posting Komentar